Jadwal Tayang Demon Slayer: Infinity Castle di Indonesia

Penggemar Demon Slayer (Kimetsu no Yaiba) kini bersiap menyambut salah satu arc terbesar dalam serial ini, yaitu Infinity Castle Arc. Berbeda dengan adaptasi sebelumnya seperti di To the Swordsmith Village dan To the Hashira Training, kali ini arc tersebut akan diubah menjadi trilogi film yang penuh aksi dan ketegangan.

Film pertama dari trilogi ini dijadwalkan tayang di berbagai negara mulai Agustus 2025, dengan tanggal rilis yang bervariasi tergantung wilayah.

Infinity Castle Trilogy akan memberikan pengalaman sinematik yang mendalam, mirip dengan kesuksesan Mugen Train pada tahun 2020. Film ini akan menjadi fitur mandiri tanpa recap episode, memberi kesempatan kepada penonton untuk merasakan keseluruhan cerita dari arc ini. Dengan animasi luar biasa dari studio ufotable, pertarungan epik, dan pengembangan karakter yang mendalam, trilogi ini pasti akan memukau para penggemar.

Tanggal rilis Demon Slayer: Infinity Castle di Indonesia dan global
Berikut adalah daftar tanggal rilis lengkap untuk Demon Slayer: Infinity Castle di berbagai negara:

  • 14 Agustus 2025: Malaysia, Singapura, Pakistan
  • 15 Agustus 2025: Kamboja, Indonesia, Vietnam
  • 20 Agustus 2025: Filipina
  • 11 September 2025: Meksiko, Chili, Peru, Argentina, Bolivia, Brasil, Karibia (Jamaika, Aruba, Suriname, Trinidad & Tobago, Curaçao), Amerika Tengah, Kolombia, Republik Dominika, Ekuador, Paraguay, Uruguay, Venezuela, Australia, Selandia Baru, Thailand, Armenia, Azerbaijan, Bahrain, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Mesir, Ethiopia, Georgia, Yunani, Hungaria, Islandia, Irak, Israel, Italia, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Lebanon, Lituania, Makedonia, Belanda, Oman, Portugal, Qatar, Arab Saudi, Serbia, Slovakia, Slovenia, Swiss (berbahasa Italia), Suriah, Ukraina, Uni Emirat Arab
  • 12 September 2025: India, Mongolia, Spanyol, Bulgaria, Estonia, Finlandia, Kenya, Latvia, Nigeria, Norwegia, Polandia, Rumania, Afrika Selatan, Swedia, Turki, Inggris
  • 17 September 2025: Belgia, Prancis, wilayah berbahasa Prancis di Afrika, Luksemburg, Swiss (berbahasa Prancis)
  • 18 September 2025: Moldova
  • 25 September 2025: Austria, Jerman, Swiss (berbahasa Jerman)

Film ini akan tersedia dalam versi subtitle dan dubbing, serta dapat dinikmati dalam format premium seperti IMAX untuk pengalaman menonton yang lebih imersif.

Apa yang terjadi dalam Demon Slayer: Infinity Castle?

Setelah melalui berbagai pertempuran sengit dan pelatihan keras bersama para Hashira (pembasmi iblis elit), Tanjiro dan teman-temannya akhirnya siap menghadapi ancaman terbesar mereka: Muzan Kibutsuji, iblis terkuat yang bertanggung jawab atas penderitaan keluarga Tanjiro dan Nezuko.

Namun, saat pertempuran dengan Muzan terjadi di markas keluarga Ubuyashiki, pemimpin Demon Slayer Corps, tiba-tiba mereka semuanya terlempar ke dalam Infinity Castle, benteng misterius yang diciptakan oleh Nakime, iblis tingkat atas (Upper Moon).

Infinity Castle adalah sebuah tempat yang sangat besar dan penuh dengan labirin, ruang yang terus berubah, serta berbagai bahaya yang mengintai di setiap sudutnya. Inilah tempat di mana pertempuran terakhir antara Demon Slayer dan Upper Moon akan terjadi.

Musim Semi Perfilman: Dua Permata Sinematik yang Menggetarkan Jiwa

Musim semi selalu menjadi waktu yang menarik bagi perfilman: saat gemerlap Oscar telah usai dan deretan blockbuster musim panas belum sepenuhnya hadir, film-film dengan kualitas tinggi mulai bermunculan. Tahun ini, periode ini memberikan lebih dari sekadar hiburan ringan—ada setidaknya dua film yang diprediksi akan terus dibicarakan hingga akhir tahun. Salah satunya adalah The Shrouds karya David Cronenberg. Meski sebagai thriller ia terasa kurang solid secara plot, film ini menyimpan kedalaman emosional yang kuat. Vincent Cassel memerankan Karsh, seorang pria yang masih larut dalam duka atas kematian istrinya, diperankan Diane Kruger dalam berbagai mimpi. Karsh menciptakan kain kafan istimewa yang memungkinkan orang hidup menyaksikan pembusukan jenazah secara langsung, menciptakan kedekatan fisik yang aneh namun mengharukan. Ia bahkan membuka kompleks pemakaman lengkap dengan restoran mewah, menambah lapisan ironi khas Cronenberg. Ketika kompleks itu dirusak, Karsh dan keluarganya berusaha mengungkap dalangnya, sembari ia sendiri perlahan mencoba kembali ke kehidupan.

Film kedua yang mencuri perhatian adalah Warfare, hasil kolaborasi antara sutradara Ex Machina, Alex Garland, dan veteran Perang Irak, Ray Mendoza. Film ini merekonstruksi kejadian nyata di Ramadi pada 2006, ketika sekelompok Navy SEAL menghadapi serangan mendadak dari al-Qaeda. Cosmo Jarvis memerankan Elliott Miller, salah satu prajurit yang mengalami luka berat. Cerita dituturkan dalam waktu nyata, menawarkan pengalaman mendebarkan dan emosional. Mendoza menciptakan film ini sebagai “potret hidup” bagi Miller, yang tak bisa mengingat kejadian tersebut. Warfare berhasil menjadi karya yang brutal namun indah secara visual, mempersembahkan penghormatan yang kuat bagi mereka yang pernah berperang.

“5 Film Horor di Prime Video yang Wajib Tonton untuk Penggemar Adrenalin Tinggi”

Bagi kamu yang penggemar film horor, Prime Video memiliki beragam pilihan yang siap membuat bulu kuduk merinding. Berikut adalah lima rekomendasi film horor yang harus masuk dalam daftar tontonanmu.

“Totally Killer” mengisahkan Jamie, seorang remaja yang secara tak sengaja terlempar ke tahun 1987 setelah bertemu dengan seorang pembunuh berantai yang dikenal sebagai Sweet Sixteen Killer. Pembunuh ini kembali muncul setelah 35 tahun dan mengincar korban berikutnya. Dalam upaya menghentikan aksi sang pembunuh, Jamie justru bertemu dengan ibunya yang masih muda dan berusaha mencegah tragedi mengerikan ini.

Berikutnya, “Thanksgiving” membawa kisah mencekam tentang serangkaian pembunuhan yang mengguncang kota Plymouth, Massachusetts. Semua berawal dari tragedi Black Friday yang menyebabkan banyak korban jiwa, dan setahun setelahnya, muncul sosok pembunuh misterius yang memburu mereka yang terlibat dalam kekacauan tersebut.

“The Manor” mengisahkan Judith Albright, seorang wanita tua yang pindah ke panti jompo hanya untuk menemukan bahwa tempat tersebut menyimpan banyak rahasia kelam. Kejadian-kejadian aneh mengganggu Judith yang berusaha melarikan diri dari tempat tersebut, namun ia terjebak dalam sebuah siklus kematian yang misterius.

“Hostel” mengikuti tiga remaja yang mencari petualangan di Eropa, namun mereka malah terjebak dalam sebuah jaringan penyiksaan manusia yang mengerikan setelah tiba di penginapan yang terlihat menarik namun ternyata berubah menjadi mimpi buruk.

Terakhir, “Dead Silence” menceritakan pasangan Jamie dan Lisa Ashen yang menerima paket misterius berisi boneka ventriloquist. Kejadian aneh pun mulai terjadi setelah Lisa bermain dengan boneka tersebut, yang mengarah pada terungkapnya misteri kelam tentang Mary Shaw dan kejadian mengerikan lainnya.

Malam Film Seru di Bulan Mei: 7 Film Terbaik yang Hadir di Max

Jika Anda sedang mencari tontonan seru untuk malam film di bulan Mei, Max punya banyak pilihan menarik untuk Anda. Salah satu yang wajib ditonton kembali adalah The Goonies, karya legendaris dari Steven Spielberg, Chris Columbus, dan Richard Donner. Film petualangan ini mengisahkan sekelompok sahabat di Astoria, Oregon, yang berusaha menyelamatkan rumah mereka dengan mencari harta karun bajak laut One-Eyed Willy. Diperankan oleh Sean Astin, Josh Brolin, Ke Huy Quan, dan lainnya, The Goonies kini makin populer setelah kabar tentang sekuelnya dikonfirmasi.

Bagi pencinta horor, The Shining karya Stanley Kubrick siap memberikan pengalaman menegangkan. Film ini mengikuti Jack Torrance, seorang penulis yang menjadi penjaga hotel terpencil di musim dingin, di mana perlahan-lahan ia kehilangan akal sehat. Diperankan oleh Jack Nicholson dan Shelley Duvall, The Shining kini dikenal sebagai salah satu film horor terbaik sepanjang masa.

Pilihan lain adalah Adult Best Friends, sebuah komedi hangat tentang persahabatan masa dewasa, dan The Whale, film mengharukan tentang seorang profesor yang berusaha memperbaiki hubungannya dengan putrinya. Anda juga bisa menikmati Where the Crawdads Sing, drama penuh misteri tentang seorang gadis yang tumbuh sendirian di rawa. Untuk drama mendalam, The Brutalist mengangkat kisah seorang arsitek penyintas Holocaust yang berjuang membangun kembali hidupnya di Amerika. Terakhir, Mountainhead, komedi satir dari kreator Succession, membawa kisah para miliarder di tengah krisis ekonomi yang mendalam.

Scopper Gaban vs Rayleigh: Siapa yang Lebih Kuat di One Piece?

Scopper Gaban, salah satu anggota inti dari Bajak Laut Roger, kembali mencuri perhatian setelah kemunculannya di arc Elbaf. Kehadirannya memicu perdebatan di kalangan penggemar mengenai siapa yang lebih kuat di antara dirinya dan Silvers Rayleigh, sesama tangan kanan dan kiri Raja Bajak Laut. Sementara Rayleigh sudah memperlihatkan kekuatan luar biasa, Gaban baru memperlihatkan sedikit potensi kekuatannya dalam cerita ini.

Rayleigh pernah menunjukkan kemampuannya saat menghadapi Admiral Kizaru di Kepulauan Sabaody, meskipun sudah berusia lanjut. Dia mampu bertahan melawan Kizaru dengan mudah, bahkan tanpa membutuhkan bantuan. Rayleigh sangat mahir menguasai ketiga jenis Haki, yang semakin memperkuat reputasinya sebagai salah satu pejuang legendaris. Di sisi lain, Gaban belum sepenuhnya menunjukkan kekuatannya, namun sedikit apa yang telah diperlihatkan menunjukkan potensi luar biasa. Gaban mampu mengangkat kunci besar dan menghancurkan menara kastil tanpa kesulitan. Keahliannya dalam Haki Observasi dan Busoshoku juga patut diacungi jempol, bahkan kemampuannya dalam merasakan keberadaan musuh seperti God’s Knights menunjukkan penguasaan yang sangat tinggi dalam bidang tersebut.

Walau Rayleigh dikenal sebagai tangan kanan Roger, status tersebut tidak otomatis menjadikannya lebih kuat daripada Gaban. Tangan kanan dan kiri dalam banyak budaya, termasuk di dunia One Piece, biasanya memiliki kekuatan yang setara. Kedua karakter ini mungkin memiliki pendekatan bertarung yang berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya berada pada level kekuatan yang sangat tinggi. Dengan perkembangan cerita yang semakin intens di Elbaf, Gaban akan semakin diuji, terutama dalam menghadapi God’s Knights yang jahat.

Aksi Polisi Pastel Kembali Hidup: Joseph Kosinski Siap Garap Film “Miami Vice” Baru

Sutradara kenamaan Joseph Kosinski dikabarkan sedang menggarap film adaptasi terbaru dari “Miami Vice” yang diproduksi oleh Universal Pictures. Menurut laporan dari The Hollywood Reporter pada Senin (28/4), naskah film ini dikerjakan oleh Dan Gilroy, berdasarkan versi sebelumnya yang ditulis oleh Eric Warren Singer. Proyek ini juga melibatkan Dylan Clark, produser di balik film “Batman”, yang turut memproduksi lewat Dylan Clark Productions, sementara Kosinski memproduksi melalui perusahaannya, Monolith.

“Miami Vice” sendiri bermula sebagai serial televisi populer pada era 1980-an, yang diciptakan oleh Anthony Yerkovich. Serial ini mengisahkan dua detektif Miami yang menyamar, diperankan oleh Don Johnson dan Philip Michael Thomas. Serial ini dikenal karena gaya visualnya yang ikonik, seperti penggunaan setelan pastel dan atmosfer kota Miami yang mencolok. Produser eksekutif Michael Mann pernah mengatakan bahwa serial ini diciptakan untuk menjadi terobosan dari format TV yang sudah ada sebelumnya.

Adaptasi layar lebar “Miami Vice” sebelumnya telah dirilis pada tahun 2006 dan dibintangi oleh Jamie Foxx serta Colin Farrell. Film tersebut disutradarai oleh Michael Mann dan sukses meraih pendapatan global sebesar 163,7 juta dolar AS. Meskipun proyek ini telah dikerjakan Kosinski sejak tahun lalu, film “Miami Vice” bukanlah proyek terdekatnya. Ia saat ini tengah terlibat dalam berbagai proyek besar, termasuk film konspirasi bertema UFO yang akan diproduksi Apple, serta drama balap Formula 1 yang dibintangi Brad Pitt yang dijadwalkan rilis pada Juni.

Kosinski kini dikenal sebagai salah satu sutradara paling dicari di Hollywood berkat karya-karyanya seperti “Top Gun: Maverick”, “Tron: Legacy”, dan “Oblivion”. Kembalinya “Miami Vice” ke layar lebar di bawah arahannya diharapkan akan menghadirkan sentuhan modern namun tetap mempertahankan nuansa khas dari warisan aslinya.

Finn Wolfhard Refleksikan Pengalaman Bekerja dengan Willem Dafoe di The Legend of Ochi

Finn Wolfhard selalu mengagumi bakat luar biasa Willem Dafoe, namun saat mereka pertama kali bekerja bersama dalam The Legend of Ochi, ia tidak bisa menghindari untuk melihat Dafoe melalui peran ikoniknya — Norman Osborn dari Spider-Man. Wolfhard, yang berusia 22 tahun, mengingat bagaimana awalnya ia kesulitan untuk tidak membayangkan Dafoe sebagai Green Goblin yang terkenal, karakter yang diperankannya dalam film Spider-Man 2002, dan sekali lagi dalam Spider-Man: No Way Home di 2021, bersama aktor Spider-Man lainnya seperti Tobey Maguire dan Tom Holland.

Dalam The Legend of Ochi, sebuah film A24, Wolfhard dan Dafoe berbagi layar dalam sebuah petualangan yang mengikuti seorang gadis muda (yang diperankan oleh Helena Zengel) yang harus mengembalikan makhluk hutan yang ditakuti ke keluarganya. Mengenang waktunya bersama Dafoe, Wolfhard mengungkapkan bagaimana ia terus terkesan dengan suara khas aktor tersebut. “Setiap kali saya mendengar suaranya, saya akan berpikir, ‘Ya Tuhan! Dia nyata,’” kata Wolfhard, mencatat dampak bertahan dari nada vokal Dafoe yang ikonik dan kemampuan aktingnya yang legendaris.

Wolfhard juga memiliki kesempatan untuk menggali pengalaman Dafoe di dunia teater pada tahun 70-an dan 80-an di New York. Percakapan-percakapan ini membantu Wolfhard mendapatkan wawasan yang sangat berharga tentang seni akting. “Saya benar-benar bisa menonton dia, dan melalui menontonnya, saya merasa seperti belajar banyak tentang akting dan seni itu,” kenangnya Wolfhard, menambahkan bahwa hasrat Dafoe terhadap seni akting sangat terlihat di setiap momennya.

The Legend of Ochi kini sudah tayang di bioskop, menampilkan dinamika kuat antara kedua aktor tersebut.

“Havoc” (2025): Aksi Brutal dan Penuh Ketegangan dari Sutradara “The Raid”

Film terbaru Netflix, Havoc, yang disutradarai oleh Gareth Evans, membawa aksi brutal dan ketegangan luar biasa yang pasti mengingatkan kita pada The Raid. Film ini mengisahkan Walker, yang diperankan oleh Tom Hardy, seorang polisi yang terjebak dalam kekacauan dunia kriminal setelah transaksi narkoba berujung pada pembunuhan. Tugasnya adalah menyusup ke dalam jaringan kriminal untuk menemukan anak seorang politisi yang tidak bersalah sebelum menjadi target mafia dan polisi korup.

Dengan latar belakang Chinatown di sebuah kota besar Amerika yang dipenuhi kejahatan dan narkoba, Havoc menawarkan aksi yang tak kenal ampun sejak menit pertama. Adegan-adegan pertarungan yang brutal dan koreografi yang intens berhasil mencuri perhatian berkat sentuhan Evans, yang memang dikenal sebagai ahli dalam merancang aksi dengan ketegangan tinggi. Film ini juga tidak ragu untuk menampilkan adegan gore yang meskipun tidak berlebihan, namun cukup mengganggu penonton yang sensitif terhadap darah.

Tom Hardy tampil sangat memukau, memberikan performa terbaiknya dalam setiap adegan. Aksi-aksi yang dibawakannya terasa begitu natural, seolah-olah ia benar-benar terlibat dalam kekacauan yang terjadi. Bukan hanya seru dari sisi cerita, visual yang disuguhkan juga sangat memanjakan mata berkat sinematografi Matt Flannery yang bergerak lincah dan membawa penonton masuk ke dalam dunia gelap penuh bahaya.

Dengan ketegangan yang terjaga sepanjang film, Havoc adalah pilihan sempurna bagi para penggemar film aksi yang mencari sensasi dan intensitas. Saksikan sendiri sekarang hanya di Netflix.

“Perang Kota”: Sebuah Kisah Perjuangan Ideologi dan Identitas dalam Layar Lebar

Sutradara Mouly Surya kembali menunjukkan kemampuannya dalam dunia perfilman lewat karya terbarunya, Perang Kota. Film ini bukan hanya sekadar menampilkan pertempuran bersenjata di Jakarta pasca-kemerdekaan, namun juga menyelami pertarungan ideologi, bahasa, serta segregasi gender dalam struktur kuasa. Diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, film ini sukses menggambarkan pergulatan antara masa lalu dan masa depan dalam situasi yang penuh ketegangan.

Perang Kota mendapat klasifikasi film dewasa 17 tahun ke atas, yang menunjukkan betapa beratnya tema yang diangkat. Dalam film ini, kita disuguhkan dengan cuplikan yang menggambarkan ketegangan antar bangsa, terutama terkait penggunaan bahasa Belanda sebagai simbol kolonialisme yang harus diperangi oleh para pejuang kemerdekaan. Meski terkadang bahasa asing dan bahasa daerah masih muncul dalam percakapan, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan tetap terasa kuat dalam setiap dialog.

Film ini mengusung teknologi Dolby Atmos, yang menghadirkan pengalaman audio-visual yang lebih imersif, terutama pada adegan pertempuran. Dengan menggunakan senjata klasik seperti Luger, film ini menonjolkan aspek realisme sejarah, serta kekuatan emosi yang muncul dalam perjuangan di luar medan perang. Meskipun ada perbedaan signifikan dalam penggambaran karakter, seperti sosok guru Isa yang diperankan oleh Chicco Jerikho, Perang Kota tetap menghargai esensi dari novel aslinya.

Bagi penggemar buku, film ini mungkin tidak sepenuhnya memvisualisasikan alur cerita seperti yang diharapkan, namun tetap menghadirkan adaptasi yang segar dan penuh kreativitas. Perang Kota siap mengajak penonton untuk meresapi kisah penuh perjuangan dan konflik ideologi yang sangat relevan hingga kini.

6 Drama dan Film Taiwan yang Di-Remake Versi Korea, Mana yang Jadi Favoritmu?

Drama dan film Taiwan telah lama dikenal dengan cerita yang penuh emosi, mengangkat tema-tema seperti cinta, kehilangan, dan perjalanan waktu yang banyak disukai penonton. Tidak mengherankan jika beberapa karya Taiwan diadaptasi menjadi drama dan film Korea yang populer. Berikut enam drama dan film Taiwan yang di-remake versi Korea, yang berhasil mencuri perhatian penonton.

Salah satu drama yang di-remake adalah A Time Called You, yang diadaptasi dari drama Taiwan legendaris Someday or One Day. Drama ini mengisahkan Jun-hee yang terbangun di tahun 1998 dalam tubuh seorang remaja dan bertemu dengan pria yang wajahnya mirip dengan cinta lamanya. Lalu, ada Fated to Love You, yang merupakan remake dari drama Taiwan berjudul sama, mengisahkan Mi-yeon, seorang pegawai yang terlibat one-night stand yang mengubah hidupnya.

Selanjutnya, The Time We Were Not in Love adalah adaptasi dari In Time With You, yang mengangkat kisah dua sahabat yang saling mencari pasangan hidup. Kemudian, A Witch’s Love mengadaptasi drama Taiwan My Queen, bercerita tentang hubungan antara seorang wanita karier dan pria muda. Tak ketinggalan, film Secret: Untold Melody yang diadaptasi dari film Taiwan Secret, mengisahkan tentang dua orang yang bertemu melalui musik misterius. Terakhir, Hear Me: Our Summer yang merupakan remake dari film Taiwan Hear Me, mengisahkan kisah cinta yang penuh pengertian antara dua orang dengan latar belakang berbeda.

Setiap versi membawa sentuhan budaya dan nuansa baru, namun tetap mempertahankan keunikan dan emosi dari cerita aslinya. Mana yang menjadi favoritmu?