“Perang Kota”: Sebuah Kisah Perjuangan Ideologi dan Identitas dalam Layar Lebar

Sutradara Mouly Surya kembali menunjukkan kemampuannya dalam dunia perfilman lewat karya terbarunya, Perang Kota. Film ini bukan hanya sekadar menampilkan pertempuran bersenjata di Jakarta pasca-kemerdekaan, namun juga menyelami pertarungan ideologi, bahasa, serta segregasi gender dalam struktur kuasa. Diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, film ini sukses menggambarkan pergulatan antara masa lalu dan masa depan dalam situasi yang penuh ketegangan.

Perang Kota mendapat klasifikasi film dewasa 17 tahun ke atas, yang menunjukkan betapa beratnya tema yang diangkat. Dalam film ini, kita disuguhkan dengan cuplikan yang menggambarkan ketegangan antar bangsa, terutama terkait penggunaan bahasa Belanda sebagai simbol kolonialisme yang harus diperangi oleh para pejuang kemerdekaan. Meski terkadang bahasa asing dan bahasa daerah masih muncul dalam percakapan, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan tetap terasa kuat dalam setiap dialog.

Film ini mengusung teknologi Dolby Atmos, yang menghadirkan pengalaman audio-visual yang lebih imersif, terutama pada adegan pertempuran. Dengan menggunakan senjata klasik seperti Luger, film ini menonjolkan aspek realisme sejarah, serta kekuatan emosi yang muncul dalam perjuangan di luar medan perang. Meskipun ada perbedaan signifikan dalam penggambaran karakter, seperti sosok guru Isa yang diperankan oleh Chicco Jerikho, Perang Kota tetap menghargai esensi dari novel aslinya.

Bagi penggemar buku, film ini mungkin tidak sepenuhnya memvisualisasikan alur cerita seperti yang diharapkan, namun tetap menghadirkan adaptasi yang segar dan penuh kreativitas. Perang Kota siap mengajak penonton untuk meresapi kisah penuh perjuangan dan konflik ideologi yang sangat relevan hingga kini.

Turang: Menghidupkan Kembali Film Perjuangan yang Hilang

Film Turang menawarkan perspektif berbeda tentang sejarah revolusi Indonesia dengan fokus pada heroisme yang diperlihatkan oleh keluarga biasa. Film ini diputar kembali dalam rangka memperingati 70 tahun Konferensi Asia Afrika, dan karya sutradara Bachtiar Siagian yang diproduksi pada 1957 ini mengisahkan perjuangan warga dan sekelompok tentara Indonesia yang melawan agresi Belanda di tanah Karo, Sumatra Utara, pada masa Revolusi.

Lokasi pengambilan gambar berada di Desa Seberaya dan beberapa desa di Kabanjahe, Kabupaten Karo, di mana sebagian besar pemainnya adalah aktor lokal, dengan 95% pemain merupakan warga setempat, seperti yang dikatakan oleh Bunga Siagian, putri Bachtiar Siagian. Film ini mengusung gaya neorealisme, yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa dengan pendekatan yang realistis dan naturalistik.

Film Turang pertama kali diputar di Istana Negara di depan Presiden Sukarno, dan pada 1960, film ini meraih predikat film terbaik di Pekan Apresiasi Film Nasional. Pada 1958, Turang juga mencuri perhatian di Festival Film Asia Afrika pertama di Tashkent, Uzbekistan, dan bahkan mendapatkan tawaran hak distribusi dari delegasi Soviet dan Korea Utara. Namun, film ini kemudian menghilang, sebagian besar akibat terjadinya Peristiwa 1965 yang menandai era Orde Baru dan penyingkiran karya-karya yang terkait dengan ideologi komunis.

Nasib Turang yang hilang berhubungan dengan pengaruh dari Orde Baru yang melarang karya-karya yang dianggap terhubung dengan komunisme. Banyak film dari masa itu, terutama yang diproduksi oleh sutradara ‘kiri’ seperti Bachtiar Siagian, mengalami nasib yang sama. Sistem pendokumentasian film di Indonesia yang buruk juga berperan dalam menghilangnya banyak film dari era tersebut.

Pada 2022, setelah lebih dari satu dekade mencari, Bunga Siagian menemukan film Turang di pusat arsip film Rusia, Gosfilmofond, di Moskow. Setelah lebih dari satu tahun, film ini akhirnya dapat diputar kembali, pertama di Festival Film Internasional Rotterdam pada Februari 2025, dan kini kembali hidup dalam rangka peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika.

Film ini memiliki makna penting karena menonjolkan peran warga biasa dalam perjuangan kemerdekaan. Tidak ada glorifikasi pada militer, melainkan lebih kepada kehidupan sehari-hari masyarakat desa yang turut berjuang dalam situasi yang penuh tekanan. Turang memberikan gambaran bagaimana individu-individu biasa berperan dalam sejarah besar negara, tanpa harus menjadi bagian dari pasukan yang lebih besar atau tentara.

Film Turang kembali diputar sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah yang telah terlupakan, dan Bunga Siagian mengajak berbagai komunitas di seluruh Indonesia untuk merayakan film ini dengan pemutaran terbuka dari tanggal 19 hingga 30 April, seiring dengan peringatan Konferensi Asia Afrika.