Aksi Polisi Pastel Kembali Hidup: Joseph Kosinski Siap Garap Film “Miami Vice” Baru

Sutradara kenamaan Joseph Kosinski dikabarkan sedang menggarap film adaptasi terbaru dari “Miami Vice” yang diproduksi oleh Universal Pictures. Menurut laporan dari The Hollywood Reporter pada Senin (28/4), naskah film ini dikerjakan oleh Dan Gilroy, berdasarkan versi sebelumnya yang ditulis oleh Eric Warren Singer. Proyek ini juga melibatkan Dylan Clark, produser di balik film “Batman”, yang turut memproduksi lewat Dylan Clark Productions, sementara Kosinski memproduksi melalui perusahaannya, Monolith.

“Miami Vice” sendiri bermula sebagai serial televisi populer pada era 1980-an, yang diciptakan oleh Anthony Yerkovich. Serial ini mengisahkan dua detektif Miami yang menyamar, diperankan oleh Don Johnson dan Philip Michael Thomas. Serial ini dikenal karena gaya visualnya yang ikonik, seperti penggunaan setelan pastel dan atmosfer kota Miami yang mencolok. Produser eksekutif Michael Mann pernah mengatakan bahwa serial ini diciptakan untuk menjadi terobosan dari format TV yang sudah ada sebelumnya.

Adaptasi layar lebar “Miami Vice” sebelumnya telah dirilis pada tahun 2006 dan dibintangi oleh Jamie Foxx serta Colin Farrell. Film tersebut disutradarai oleh Michael Mann dan sukses meraih pendapatan global sebesar 163,7 juta dolar AS. Meskipun proyek ini telah dikerjakan Kosinski sejak tahun lalu, film “Miami Vice” bukanlah proyek terdekatnya. Ia saat ini tengah terlibat dalam berbagai proyek besar, termasuk film konspirasi bertema UFO yang akan diproduksi Apple, serta drama balap Formula 1 yang dibintangi Brad Pitt yang dijadwalkan rilis pada Juni.

Kosinski kini dikenal sebagai salah satu sutradara paling dicari di Hollywood berkat karya-karyanya seperti “Top Gun: Maverick”, “Tron: Legacy”, dan “Oblivion”. Kembalinya “Miami Vice” ke layar lebar di bawah arahannya diharapkan akan menghadirkan sentuhan modern namun tetap mempertahankan nuansa khas dari warisan aslinya.

“Perang Kota”: Sebuah Kisah Perjuangan Ideologi dan Identitas dalam Layar Lebar

Sutradara Mouly Surya kembali menunjukkan kemampuannya dalam dunia perfilman lewat karya terbarunya, Perang Kota. Film ini bukan hanya sekadar menampilkan pertempuran bersenjata di Jakarta pasca-kemerdekaan, namun juga menyelami pertarungan ideologi, bahasa, serta segregasi gender dalam struktur kuasa. Diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, film ini sukses menggambarkan pergulatan antara masa lalu dan masa depan dalam situasi yang penuh ketegangan.

Perang Kota mendapat klasifikasi film dewasa 17 tahun ke atas, yang menunjukkan betapa beratnya tema yang diangkat. Dalam film ini, kita disuguhkan dengan cuplikan yang menggambarkan ketegangan antar bangsa, terutama terkait penggunaan bahasa Belanda sebagai simbol kolonialisme yang harus diperangi oleh para pejuang kemerdekaan. Meski terkadang bahasa asing dan bahasa daerah masih muncul dalam percakapan, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan tetap terasa kuat dalam setiap dialog.

Film ini mengusung teknologi Dolby Atmos, yang menghadirkan pengalaman audio-visual yang lebih imersif, terutama pada adegan pertempuran. Dengan menggunakan senjata klasik seperti Luger, film ini menonjolkan aspek realisme sejarah, serta kekuatan emosi yang muncul dalam perjuangan di luar medan perang. Meskipun ada perbedaan signifikan dalam penggambaran karakter, seperti sosok guru Isa yang diperankan oleh Chicco Jerikho, Perang Kota tetap menghargai esensi dari novel aslinya.

Bagi penggemar buku, film ini mungkin tidak sepenuhnya memvisualisasikan alur cerita seperti yang diharapkan, namun tetap menghadirkan adaptasi yang segar dan penuh kreativitas. Perang Kota siap mengajak penonton untuk meresapi kisah penuh perjuangan dan konflik ideologi yang sangat relevan hingga kini.

The Snitch: Drama Kelam di Dunia Abu-Abu Antara Hukum dan Kejahatan

Dalam dunia kejahatan yang penuh tipu daya, The Snitch mengajak penonton menyelami kisah seorang pria biasa yang harus menjadi informan rahasia demi menyelamatkan keluarganya. Yoo Hai-Jin tampil memukau sebagai Jang Doo-sik, mantan narapidana yang berusaha menjalani hidup baru setelah bebas dari penjara. Namun, keinginannya untuk hidup lurus justru membawanya kembali ke dunia kriminal saat pihak kepolisian menawarkan “kesempatan kedua” jika ia bersedia menjadi mata-mata dalam sebuah operasi besar. Di tengah dilema berat, Doo-sik dihadapkan pada pilihan sulit antara menegakkan hukum atau mempertaruhkan nyawa.

Yoo Hai-Jin berhasil menghidupkan karakter Doo-sik dengan emosi yang autentik, memperlihatkan sosok ayah yang rapuh namun penuh kasih. Kang Ha-Neul menambah warna sebagai detektif muda idealis, menciptakan dinamika menarik dengan karakter Doo-sik, sementara Park Hae-Joon menghadirkan ketegangan melalui peran kriminal berkarisma yang mengintimidasi. Alur cerita yang disusun dengan cermat menampilkan konflik psikologis dan etika, memperkuat tema utama film tentang pilihan moral dalam situasi ekstrem.

Sutradara Hwang Byeong-Gug mengemas film ini dengan atmosfer kelam yang realistis, mempertegas dunia kriminal yang jauh dari glamor. Lokasi-lokasi syuting seperti lorong-lorong kumuh dan kantor polisi yang lusuh menambah nuansa autentik cerita. The Snitch bukan hanya tentang kejahatan, melainkan juga tentang pergulatan batin manusia biasa di tengah dunia abu-abu, menghasilkan sebuah thriller Korea yang kuat, emosional, dan penuh ketegangan yang patut dikenang.

“Angkara Murka”: Horor Psikologis yang Menggali Luka Sosial Indonesia

Forka Films akan merilis film horor terbaru berjudul “Angkara Murka” pada 22 Mei 2025, yang menyajikan perpaduan antara ketegangan horor psikologis dan realisme sosial. Film debut panjang dari sutradara muda Eden Junjung ini berfokus pada kisah yang lebih dari sekadar teror, melainkan juga menyentuh aspek emosional dan kritik terhadap ketidakadilan sosial.

Dibintangi oleh Raihaanun, Aksara Dena, dan Simhala Avadana, “Angkara Murka” menawarkan cerita yang menggugah mengenai kerakusan kekuasaan yang meninggalkan luka dari generasi ke generasi. Eden Junjung, dalam wawancaranya, menyatakan bahwa pengalaman hidupnya di kaki gunung yang dianggap angker memberinya perspektif baru mengenai ketakutan yang sering kali sengaja diciptakan untuk menutupi kenyataan. Gunung yang dianggap dihuni oleh setan ternyata menyimpan rahasia kelam mengenai eksploitasi tambang ilegal.

Produser Ifa Isfansyah menambahkan bahwa “Angkara Murka” adalah langkah berani Forka Films dalam menghadirkan horor yang tidak hanya menakutkan tetapi juga menyuarakan kritik sosial yang mendalam. Film ini menggambarkan kehidupan Ambar, seorang ibu muda yang bekerja di tambang pasir untuk mencari suaminya yang hilang secara misterius. Ambar kemudian terjerat dalam ketegangan antara teror alam dan praktik-praktik gelap yang terjadi di balik dunia pertambangan.

Selain tayang di Indonesia, film ini akan melakukan world premiere di Far East Film Festival (FEFF) 2025 di Udine, Italia, pada 30 April 2025, sekaligus berkompetisi untuk White Mulberry Award for Best Debut Feature.

The Snitch: Ketegangan dan Dilema Moral dalam Dunia Kriminal

The Snitch mengajak penonton menyelami dunia kejahatan yang penuh intrik, di mana garis antara benar dan salah menjadi kabur. Film ini mengikuti perjalanan seorang pria biasa, Jang Doo-sik, yang terperangkap dalam dunia kriminal sebagai informan. Yoo Hai-Jin memerankan Doo-sik, mantan narapidana yang berusaha menjalani hidup jujur setelah keluar dari penjara. Namun, hidup bersih ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Demi melindungi keluarganya, Doo-sik terpaksa kembali berurusan dengan dunia kriminal.

Ketika polisi menawarkan kesempatan kedua jika ia mau menjadi informan, Doo-sik dihadapkan pada dilema moral yang berat: membantu penegakan hukum atau mempertaruhkan nyawanya di dua sisi dunia yang berbeda. Dalam film ini, Yoo Hai-Jin menunjukkan kemampuan aktingnya yang luar biasa sebagai pria biasa yang dihantui masa lalu, namun juga sebagai suami dan ayah yang penuh cinta. Emosi yang ditampilkan sangat manusiawi dan mudah dihubungkan dengan penonton.

Kang Ha-Neul memainkan peran detektif muda yang idealis dan impulsif, memberikan kontras yang menarik dengan karakter Doo-sik. Sementara Park Hae-Joon berperan sebagai tokoh kriminal yang karismatik namun kejam, menambah ketegangan dalam setiap adegan. Skenario film ini sangat rapi, menyajikan tidak hanya aksi dan ketegangan, tetapi juga konflik psikologis yang kompleks.

Sutradara Hwang Byeong-Gug menghadirkan film ini dengan atmosfer yang gelap dan realistis. Lokasi syuting yang sederhana seperti lorong sempit dan rumah susun, serta adegan aksi yang intens, membuat film ini terasa sangat dekat dengan realita. The Snitch bukan hanya film kriminal, tetapi juga drama tentang keputusan luar biasa yang harus diambil oleh orang biasa. Dengan akting yang kuat, cerita yang berlapis, dan penyutradaraan yang tajam, film ini menjadi salah satu thriller Korea terbaik tahun ini.

Ketika Angka dan Peluru Bertemu: The Accountant 2 Suguhkan Sekuel Sarat Ketegangan dan Emosi

Setelah hampir satu dekade sejak film pertamanya, The Accountant 2 kembali membawa penonton ke dalam dunia Christian Wolff, seorang akuntan jenius dengan spektrum autisme yang juga seorang pembunuh bayaran. Disutradarai oleh Gavin O’Connor dan dibintangi Ben Affleck, sekuel ini menghadirkan perpaduan antara ketegangan, drama keluarga, dan sedikit sentuhan humor yang gelap.

Cerita dimulai ketika Wolff mengetahui bahwa seorang kenalan lamanya tewas secara misterius dan meninggalkan pesan terakhir untuk mencari sosok yang disebut “sang akuntan.” Tergerak oleh pesan tersebut, Wolff pun memutuskan untuk kembali menjalin kontak dengan saudaranya, Brax (Jon Bernthal), seorang pembunuh bayaran yang telah lama terpisah darinya. Dalam perjalanannya mengungkap kebenaran, mereka bekerja sama dengan Wakil Direktur Departemen Keuangan AS, Marybeth Medina (Cynthia Addai-Robinson), yang membantu membuka tabir konspirasi kelam yang menyelimuti jaringan pembunuh kejam yang siap membungkam siapa saja yang menggali terlalu dalam.

Yang menjadi daya tarik utama film ini adalah interaksi antara Christian dan Brax. Affleck tetap tampil kuat dan tenang dalam memerankan Wolff, sedangkan Bernthal sukses membawa dimensi emosional dan humor dalam peran Brax. Aksi yang dikemas intens, dipadukan dengan sinematografi gelap yang menjaga suasana tegang, menjadikan film ini tak hanya menarik secara visual tetapi juga emosional. Walau beberapa adegan transisi terasa kaku, kekuatan karakter dan isu sosial yang diangkat membuat film ini tetap layak ditonton.

“Anak Medan: Cocok Ko Rasa” Menyajikan Drama Komedi Persahabatan yang Mengharukan

Film “Anak Medan: Cocok Ko Rasa” karya PIM Pictures menghadirkan cerita yang memadukan drama komedi dengan perjuangan mengejar impian serta nilai-nilai persahabatan. Disutradarai oleh Ivan Bandhito dan diproduksi oleh Agustinus Sitorus, film ini mengisahkan empat sahabat asal Medan—Ucok (Maell Lee), Joko (Ady Sky), Rafly (Ajil Dito), dan Chisa (Mario Maulana Hazar)—yang bersahabat sejak SMA. Namun, sebuah insiden pada perayaan kelulusan memisahkan mereka, terutama Rafly yang harus menjauh atas permintaan orang tua.

Ucok memilih untuk merantau ke Jakarta demi mengejar mimpinya sebagai penyanyi, meski harus berhadapan dengan berbagai tantangan hidup, termasuk terjerat dalam utang pinjaman online (pinjol). Sementara itu, Joko berjuang menjadi pemain sepakbola, Chisa mengembangkan bisnis keluarga, dan Rafly hilang kontak selama beberapa waktu. Setelah empat tahun, mereka kembali dipertemukan di Medan dalam sebuah reuni yang membuka babak baru dalam persahabatan mereka.

Film ini mengangkat tema tentang dilema antara harapan keluarga dan impian pribadi, serta bagaimana persahabatan dapat diuji oleh cobaan hidup. Dengan dialog khas anak Medan yang penuh komedi, film ini tak hanya menyentuh, tapi juga menghibur. Karakter Ucok, yang diperankan oleh Maell Lee, menjadi sorotan utama, menunjukkan keteguhan hati seorang pemuda yang berusaha meraih impian meski terhadang realita keras di perantauan.

Dari sisi emosional, “Anak Medan: Cocok Ko Rasa” berhasil menggambarkan hubungan yang terpisah oleh waktu, perasaan rindu, dan perjuangan hidup yang penuh tantangan. Diwarnai dengan latar belakang dua kota besar, Jakarta dan Medan, film ini berhasil memperlihatkan dinamika sosial dan ekonomi yang menjadi bagian dari kehidupan anak muda, khususnya mereka yang merantau.

“Mungkin Kita Perlu Waktu”: Film Drama Keluarga yang Menggugah Hati

Film drama keluarga “Mungkin Kita Perlu Waktu” karya sutradara Teddy Soeriaatmadja telah merilis trailer resmi yang mengungkapkan tanggal penayangannya di bioskop Indonesia pada 15 Mei 2025. Trailer berdurasi 1 menit 55 detik ini mengisahkan sebuah keluarga yang terbelah akibat peristiwa traumatis yang menghantam mereka. Kepergian Sara (Naura Hakim), anak sulung dalam keluarga, menjadi pukulan yang menghancurkan keluarga ini, dan sejak itu, Ombak (Bima Azriel), anak kedua, terjerat dalam depresi mendalam.

Ayah mereka, Restu (Lukman Sardi), berusaha keras menjaga agar keluarga tetap utuh, sementara ibu mereka, Kasih (Sha Ine Febriyanti), terus-menerus dilanda kemarahan. Ombak yang merasa tidak nyaman di rumah mendapatkan dukungan dari teman dekatnya, Aleiqa (Tissa Biani), serta pertolongan dari psikolog Nana (Asri Welas).

Meskipun film ini berfokus pada satu peristiwa traumatis, ia juga menggambarkan dinamika hubungan keluarga sehari-hari yang bermuara pada masalah komunikasi, masalah klasik dalam banyak keluarga di Indonesia. Tercermin dalam hubungan suami-istri Restu dan Kasih, yang meskipun telah menikah lama, sering saling berasumsi dan buruk dalam berkomunikasi. Begitu juga dengan hubungan orangtua dan anak, di mana Ombak meski tinggal serumah dengan orangtuanya, tetap kesulitan berkomunikasi dengan baik.

Sutradara Teddy Soeriaatmadja mengungkapkan bahwa film ini menggambarkan lima tahap berduka atau five stages of grief, mencakup denial, anger, dan depresi, yang menggambarkan perbedaan cara setiap individu memproses trauma. Film ini membawa pesan yang relevan dengan banyak keluarga di Indonesia yang mungkin tampak baik-baik saja namun sebenarnya terselubung permasalahan besar.

Ketika Iman Diuji: Teror Spiritual dalam “Godaan Setan yang Terkutuk” Siap Guncang Layar Lebar

Film horor terbaru bertajuk Godaan Setan yang Terkutuk dipersembahkan oleh rumah produksi Maxima Pictures dan Sinergi Pictures, bekerja sama dengan VLP Indonesia serta Ben Film. Film ini dijadwalkan tayang di bioskop mulai 15 Mei mendatang. Disutradarai oleh Fahmy J. Saad dan diproduseri oleh Yoen K serta Phillip Lesmana, film ini menyuguhkan cerita horor dengan lapisan reflektif yang kuat, berfokus pada ujian spiritual dan keharmonisan keluarga.

Dalam trailer berdurasi 1 menit 40 detik yang telah dirilis di kanal YouTube Sinergi Pictures, penonton diperlihatkan sosok Ustadz Ahmad yang diperankan Donny Alamsyah, memberikan ceramah tentang cara iblis melemahkan fondasi keluarga melalui sosok ibu. Diceritakan bahwa godaan setan kerap dimulai dengan menurunkan semangat dan syukur dalam hati seorang ibu, menjadikannya celah masuk bagi kehancuran keluarga. Kalimat pada poster resmi film ini, “Jika kau ingin merusak sebuah keluarga, rusaklah dulu ibunya,” menjadi pusat pesan moral yang diangkat.

Selain Donny Alamsyah, film ini juga dibintangi oleh Poppy Sovia, Azela Putri, Aline Fauziah, Claresta Taufan, Jefan Nathanio, dan Aden Bajaj. Poppy mengaku tersentuh oleh naskahnya karena menyuarakan keresahan nyata yang dialami banyak ibu. Sementara itu, sang produser, Phillip Lesmana, menekankan bahwa film ini ingin menyentuh emosi penonton lewat horor yang menggugah pikiran, bukan sekadar efek mengejutkan. Dengan cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, Godaan Setan yang Terkutuk hadir sebagai angin segar bagi perfilman horor Tanah Air.

Ketegangan Real-Time: Streaming, Thriller Korea dengan Konsep Siaran Langsung yang Bikin Deg-degan

“Mulai sekarang, aku akan menangkap pembunuh berantai. Dan disiarkan secara langsung!”Kalimat tersebut menjadi titik awal ketegangan dalam Streaming, film thriller Korea terbaru yang menampilkan Kang Ha-neul sebagai pemeran utama. Mengusung konsep inovatif, film ini membawa penonton ke dalam dunia siaran langsung yang menyerupai platform streaming sungguhan, menjadikannya pengalaman sinematik yang sangat imersif dan mendebarkan.

Tokoh utama, Woo Sang, adalah streamer kriminal paling populer di platform WAG. Ia terkenal karena membahas kasus-kasus kriminal tak terpecahkan secara mendalam. Namun, setelah terlibat dalam skandal yang merusak reputasinya, Woo Sang kehilangan pamornya. Dalam upaya bangkit kembali, ia membuat langkah nekat: mengejar dan menangkap Pembunuh Berantai Hemline secara live. Awalnya, siaran tersebut menjadi ajang pembuktian diri, namun situasi berubah drastis saat diketahui sang pembunuh juga ikut menyaksikan siaran tersebut, memicu teror nyata di balik layar.

Film ini dikemas layaknya siaran langsung, lengkap dengan antarmuka digital, suara donasi, serta komentar penonton yang terus mengalir, menciptakan suasana autentik. Dibalut sinematografi ciamik, adegan-adegan panjang tanpa potongan memperkuat kesan real-time. Kang Ha-neul tampil luar biasa sebagai Woo Sang yang karismatik namun ambisius. Peran pendukung seperti Ha Seo-yoon dan Kang Ha-kyung juga memberikan warna tersendiri.

Dengan pendekatan unik, Streaming menjadi tontonan wajib bagi penggemar thriller yang mencari sensasi baru. Tayang di bioskop Indonesia mulai 16 April 2025.