Samsara adalah film terbaru Garin Nugroho, seorang sutradara yang telah lama dinantikan karyanya setelah “Kucumbu Tubuh Indahku” (2019). Dalam film ini, Garin berhasil menghidupkan karya bisu yang menghadirkan pengalaman mistis yang memukau.
Setelah film ini meraih empat Piala Citra di Festival Film Indonesia 2024, saya penasaran untuk melihat seberapa istimewa Samsara. Setelah menontonnya, saya merasa kemenangan tersebut sangat pantas. Berlatar Bali pada tahun 1930-an, film ini mengisahkan seorang pria miskin yang berusaha menikahi kekasihnya dengan cara membuat perjanjian dengan Raja Monyet.
Garin, dengan imajinasinya yang liar, berhasil menyatukan berbagai elemen mistis dalam film ini. Format hitam-putih serta gaya bisu menjadi pondasi utama. Meskipun Garin pernah menggunakan konsep serupa dalam “Setan Jawa” (2016), Samsara tetap memberikan nuansa yang segar.
Berbeda dengan “Setan Jawa” yang lebih menonjolkan mitologi Jawa, Samsara mengarahkan perhatian pada mitologi Bali. Garin memadukan musik gamelan Bali dari Gamelan Yuganada dan musik elektronik dari duo Gabber Modus Operandi (GMO), menciptakan sebuah komposisi unik yang menghentak. Teknik “kegilaan terukur” Garin menggabungkan imajinasi dengan ketelitian teknis, menghasilkan karya yang luar biasa.
Pengalaman menonton Samsara terasa jauh berbeda dari film-film modern lainnya. Dengan format cine-concert, yang menggabungkan film dengan musik live, sensasi yang ditawarkan sangat mendalam. Saya merasa seperti dibawa masuk ke dunia Samsara, di mana mitologi, klenik, tarian, dan naluri manusia berpadu.
Garin, yang juga menulis naskah, mengisahkan cinta antara Darta (Ario Bayu) dan Sinta (Juliet Widyasari Burnett). Meskipun cerita ini sederhana, ada banyak pesan mendalam mengenai cinta, obsesi, keserakahan, dan karma.
Film ini sangat dipengaruhi oleh mitologi Bali, terutama konsep sekala dan niskala, yaitu yang tampak dan tidak tampak. Darta melakukan ritual dan berjanji kepada Raja Monyet untuk mendapatkan cintanya, yang berujung pada serangkaian peristiwa penuh kutukan.
Interaksi antar-karakter dieksekusi dengan sempurna meskipun tanpa dialog. Bahasa tubuh, tarian, dan musik menjadikan setiap karakter berbicara dengan jelas. Walaupun ada bagian yang terbuka untuk penafsiran, ini bukanlah masalah karena tiap penonton bisa menangkap makna yang berbeda.
Sinematografi dan musik semakin menguatkan dunia dalam Samsara. Batara Goempar, sebagai sinematografer, berhasil menghadirkan visual yang menawan. Kolaborasi I Wayan Sudirana dengan GMO sukses menciptakan musik yang menguatkan suasana, mulai dari yang syahdu hingga yang mencekam.
Dengan segala pencapaiannya, tidak mengherankan jika Samsara berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Penata Musik Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, dan Penata Busana Terbaik. Piala Citra lainnya yang diterima Garin juga sangat layak, mengingat kualitas karyanya yang mencolok sepanjang tahun ini.
Tantangan berikutnya bagi Samsara adalah ketika ditayangkan secara reguler di bioskop, terutama tanpa musik live. Jika pengalaman yang dihadirkan bisa tetap sebanding dengan versi cine-concert, Samsara akan tetap layak ditonton di layar lebar.