Reaksi Pimpinan Ponpes Se-Indonesia Terkait Dugaan Penghinaan Gus Miftah terhadap Pedagang Es Teh

Pernyataan Miftah Maulana, lebih dikenal dengan nama Gus Miftah, yang diduga menghina seorang pedagang es teh dalam ceramahnya baru-baru ini menjadi sorotan publik. Kejadian ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat luas, tetapi juga mendapatkan tanggapan dari kalangan pengurus Pimpinan Pusat Rabithah Ma’had Islamiyah (PP-RMI), sebuah organisasi yang mewadahi pondok pesantren di Indonesia.

Wakil Ketua Pimpinan Pusat PP-RMI, KH Imam Jazuli, menanggapi fenomena ini dengan pendekatan yang lebih luas. Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara dengan keberagaman budaya yang sangat kaya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kita saling memahami, belajar, dan menghormati perbedaan. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah kebiasaan “roasting” atau sarkasme yang sering dijumpai dalam lingkungan Nahdliyyin, yang bagi sebagian orang bisa menjadi hal yang wajar, tetapi bagi lainnya justru bisa menyinggung perasaan.

Kiai Imam memaparkan bahwa kebiasaan tersebut sudah lama ada di kalangan warga Nahdliyyin, namun tidak semua orang bisa menerima atau memahaminya dengan cara yang sama. Ia memberikan contoh bagaimana beberapa ucapan dari tokoh-tokoh besar dalam Islam di Indonesia yang kerap menyampaikan kata-kata dengan humor sarkastik, meskipun jika dilihat secara harfiah bisa sangat menyakitkan. Misalnya, pernyataan dari mantan Ketua Umum NU, Romo Kyai Said Aqil Siradj, yang mengatakan “semakin panjang jenggot seseorang, semakin goblok”, yang jika diartikan secara literal bisa memicu kontroversi.

Sejalan dengan itu, Gus Baha, salah seorang ulama terkemuka, menjelaskan bahwa ada kalanya kebodohan dan kepintaran memiliki makna yang lebih dalam, yang tidak selalu berkaitan dengan pengetahuan. Menurutnya, menjadi “bodoh” dalam arti rendah hati dan tulus lebih dihargai di hadapan Tuhan, dibandingkan dengan menjadi pintar namun penuh pamrih.

Gus Miftah, yang berasal dari latar belakang masyarakat yang marginal, tidak terbiasa dengan formalitas dunia pejabat. Setelah dipercaya oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP), Gus Miftah harus beradaptasi dengan lingkungan yang lebih luas dan beragam. Namun, tak semua pihak bisa menerima perubahan ini dengan mudah. Kejadian yang melibatkan Gus Miftah dan pedagang es teh mencerminkan adanya jarak antara identitas pribadi Gus Miftah yang lebih santai dan lingkungan publik yang lebih formal.

Kiai Imam menegaskan pentingnya bagi seorang tokoh publik untuk menempatkan dirinya pada posisi yang tepat, terutama setelah diberikan amanah yang besar. Gus Miftah, meskipun berasal dari lingkungan yang tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat, kini memiliki peran yang lebih besar yang mengharuskannya untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara. Ia harus menyadari bahwa sebagai pejabat publik, ia mewakili kepentingan banyak pihak yang memiliki pandangan dan latar belakang berbeda.

Dalam pandangan KH Imam Jazuli, ini adalah pelajaran bagi Gus Miftah dan seluruh warga Nahdliyyin yang diberi kesempatan memimpin bangsa. Dalam ruang publik, kata-kata yang disampaikan harus penuh dengan rasa hormat dan tidak merendahkan orang lain. Kiai Imam bahkan mengingatkan bahwa jika budaya roasting dan sarkasme terus dipertahankan di mimbar agama atau panggung politik, maka publik mungkin hanya akan menerima stand-up comedy sebagai satu-satunya tempat yang tepat untuk humor seperti itu.

Sebagai bangsa yang beragam, kita harus lebih bijak dalam memilih kata-kata, baik dalam interaksi sehari-hari maupun dalam tugas-tugas publik. Hal ini akan menjaga keharmonisan dan menghindarkan kita dari tindakan yang bisa memecah belah masyarakat. Gus Miftah, yang baru menjalani tugasnya sebagai UKP selama dua bulan, diharapkan dapat lebih memahami perubahan perannya dan bertindak sesuai dengan ekspektasi publik.

Penting untuk diingat, satu kesalahan masih bisa dimaafkan, tetapi jika Gus Miftah memilih mundur dari jabatannya, diharapkan hal ini bisa menjadi titik tolak bagi perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Di masa depan, setiap pejabat publik yang melakukan kesalahan harus siap untuk bertanggung jawab dan dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Ini adalah pelajaran berharga untuk kita semua, agar lebih bijaksana dalam bertindak dan berbicara, demi menjaga kerukunan dan keharmonisan bangsa.