Poster promosi film horor Pabrik Gula produksi MD Pictures memicu kontroversi di kalangan masyarakat. Gambar yang menampilkan seorang wanita mengenakan pakaian minim duduk di atas pria berbaring, dikelilingi bayangan hitam, menuai kritik karena dianggap terlalu vulgar dan tidak mencerminkan tema horor yang diusung.
Ketua Komisi II Lembaga Sensor Film (LSF), Ervan Ismail, memberikan tanggapan atas polemik ini. Ia menegaskan bahwa poster tersebut belum mendapatkan izin tayang dari LSF. “Poster itu sebenarnya belum lulus sensor. Saat masuk ke studio sensor, anggota memberikan catatan untuk dilakukan koreksi,” jelas Ervan saat ditemui di Kawasan Darmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (16/1/2025).
Kendala Regulasi dalam Mengontrol Konten Digital
Meskipun poster dianggap tidak layak tayang, LSF tidak memiliki kewenangan untuk mengatur konten yang beredar di platform digital. Menurut Ervan, regulasi yang ada saat ini belum mencakup pengawasan terhadap materi promosi yang dirilis di media sosial. “Ini memang menjadi kendala. Banyak yang berasumsi bahwa konten di media sosial sudah lulus sensor, padahal belum tentu demikian,” ujar Ervan.
Aduan Publik Sebagai Evaluasi
Ervan mengungkapkan bahwa LSF sering menerima aduan dari masyarakat terkait konten promosi yang dinilai kurang pantas. Aduan tersebut menjadi bahan evaluasi bagi lembaga untuk memperbarui aturan yang lebih relevan. “Kami mendapatkan banyak masukan dari masyarakat, baik melalui media sosial maupun secara langsung. Hal ini menjadi dasar bagi kami untuk menyesuaikan regulasi di masa depan,” katanya.
Dialog Konstruktif dengan MD Pictures
Sebagai langkah responsif, LSF telah memberikan catatan kepada pihak MD Pictures untuk memperbaiki materi promosi Pabrik Gula. Ervan berharap, melalui komunikasi yang baik, produser film dapat lebih berhati-hati dalam menyiapkan materi promosi yang sesuai dengan budaya dan peraturan yang berlaku. “Kami menghubungi mereka dan memberikan masukan yang perlu diperhatikan. LSF mendukung kreativitas, tetapi tetap dalam koridor regulasi yang telah ditetapkan,” tegasnya.
Kontroversi ini menjadi pengingat pentingnya keseimbangan antara kreativitas dalam promosi dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku. Polemik ini juga membuka peluang bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk memperluas cakupan regulasi dalam era digital.